Mengapa Liga Inggris Menjadi Liga Paling Populer Saat Ini
Ada banyak hal yang bisa bikin orang jatuh cinta: senyuman manis, wangi parfumnya, atau sekadar obrolan ringan yang nyambung. Tapi untuk pecinta sepakbola, ada satu hal lain yang bikin jatuh cinta berjamaah: Liga Inggris.
Iya, Liga Inggris. Atau lebih resminya, English Premier League. Sebuah liga yang bukan cuma ajang adu tendang bola, tapi sudah berubah jadi tontonan drama, bisnis miliaran poundsterling, bahkan bisa dibilang semacam reality show tanpa naskah dengan rating setinggi langit.
Liga Inggris kini adalah liga sepakbola paling populer di dunia. Tayang di lebih dari 100 negara, dengan pemirsa ratusan juta setiap pekan, bahkan lebih global daripada boyband Korea. Kalau kamu masih bertanya-tanya kenapa, mari kita obrolkan pelan-pelan. Duduk santai, tarik napas, karena jawabannya nggak sesederhana “karena seru”.
Salah satu daya tarik paling kuat Liga Inggris tentu saja adalah intensitas pertandingannya. Tidak ada liga lain yang bisa menandingi kecepatan, agresivitas, dan energi pertandingan ala EPL. Pemain berlari seperti dikejar setan, pelatih teriak-teriak di pinggir lapangan kayak dikejar utang, dan fans? Jangan ditanya. Emosi mereka sudah jadi bagian dari pertandingan.
Di Inggris, pertandingan antara tim papan atas lawan tim papan bawah bisa berakhir dengan skor mengejutkan. Manchester City bisa kalah dari Wolves, Liverpool bisa dipecundangi Burnley. Bukan karena mereka lagi ngantuk, tapi karena memang tidak ada jaminan menang di EPL. Liga ini tidak mengenal belas kasihan. Semuanya bermain all out. Selalu.
Coba bandingkan dengan liga lain yang terlalu “terprediksi”. Kita tahu siapa yang juara sebelum musim dimulai. Di Liga Inggris, bahkan menjelang pekan terakhir, kita masih bisa berdebat siapa yang bakal degradasi dan siapa yang bakal ke Liga Champions. Semua serba mungkin. Bahkan Leicester pernah juara. Leicester, Bung!
Tapi Liga Inggris bukan cuma soal pertandingan. Dia juga soal presentasi. Soal bagaimana pertandingan itu disajikan ke publik dunia. Kameranya canggih, komentatornya jago, stadionnya megah, bahkan papan iklannya pun menyala terang dengan teknologi LED serta Jadwal Liga Inggris yang demikian teratur dan ramah secara waktu untuk penonton di berbagai belahan dunia. Nonton EPL tuh kayak nonton film action yang disutradarai Christopher Nolan. Intens, mewah, dan bikin jantung copot-copot.
Jangan lupakan juga parade bintang dunia yang merumput di tanah Inggris. Dari generasi lampau seperti Thierry Henry, Dennis Bergkamp, Wayne Rooney, sampai generasi sekarang seperti Erling Haaland, Mo Salah, atau Bruno Fernandes. Mereka bukan cuma pemain bola. Mereka adalah bintang yang mengangkat nilai jual liga.
Transfer pemain di EPL pun seperti opera sabun. Kisah dramatis Harry Kane pindah atau tidak, saga panjang soal Mason Mount, hingga kepindahan mengejutkan Cristiano Ronaldo ke United waktu itu. Media di Inggris benar-benar tahu cara menjual cerita. Mereka tahu, sepakbola bukan cuma soal gol dan kartu kuning. Ini soal narasi. Soal cerita yang bikin fans tetap terpaku di layar meski pertandingan udah bubar.
EPL juga tahu bagaimana mengelola branding. Mereka paham bahwa dalam dunia yang semakin digital, liga bukan cuma produk lokal. Mereka harus jadi global. Maka jangan heran kalau di sudut Jakarta, Lagos, atau Mumbai, kamu bisa nemu fans Arsenal lengkap dengan jersey dan jargon-jargonnya. Bahkan kadang lebih militan daripada fans klub lokal.
Semua ini tentu tidak lepas dari dukungan uang. Liga Inggris adalah liga kaya. Hak siar mereka dibanderol mahal, sponsor berebut tempat di jersey klub, dan pendapatan dari tiket stadion terus mengalir deras. Uang inilah yang dipakai untuk memperbaiki infrastruktur, menggaji pelatih top dunia, hingga menggaet pemain kelas wahid.
Namun uang bukan segalanya. Liga Inggris juga tahu pentingnya menjaga tradisi. Lihat saja bagaimana mengatur jadwal pertandingan dimana mereka masih menggelar Boxing Day, saat liga-liga lain libur. Atau bagaimana atmosfer stadion seperti Anfield, Old Trafford, dan St. James' Park masih dijaga agar tetap penuh sejarah. Di sinilah letak keunikan EPL: modern tapi tetap mengakar pada tradisi.
Selain itu, EPL juga cukup demokratis soal distribusi pendapatan. Tidak seperti liga lain yang terlalu memanjakan dua atau tiga klub, di EPL uang siaran dibagi lebih merata. Klub-klub seperti Brighton, Brentford, atau Wolves tetap bisa hidup dan bahkan tampil mengejutkan. Kompetisi jadi lebih adil, dan tontonan jadi lebih asyik.
Faktor lain yang sering luput dibicarakan adalah betapa EPL itu akrab dengan masyarakat biasa. Banyak klub yang punya fans kelas pekerja. Identitas lokal sangat terasa. Ini membuat hubungan antara klub dan pendukung bukan cuma urusan bisnis, tapi soal kebanggaan komunitas.
Dan tentu saja, EPL punya pelatih-pelatih paling nyentrik. Mulai dari Guardiola yang perfeksionis, Klopp yang energik dan kadang drama, sampai Arteta yang setengah filosof setengah influencer. Mereka bukan hanya pelatih, tapi juga aktor utama dalam drama mingguan yang disiarkan ke seluruh dunia.
Akhirnya, semua ini membuat EPL jadi lebih dari sekadar liga sepakbola. Dia adalah budaya populer. Dia adalah produk hiburan. Dia adalah simbol dominasi Inggris dalam urusan menggiring bola dan menggiring perhatian.
Dan di dunia yang penuh kejenuhan, Liga Inggris hadir sebagai penawar. Penawar bagi kamu yang stres kerja, yang patah hati, atau yang cuma butuh alasan untuk begadang di akhir pekan.
Karena sepakbola, pada akhirnya, bukan cuma soal siapa yang menang. Tapi soal siapa yang bisa bikin kita terpikat. Dan Liga Inggris, dengan segala kehebohan dan kegilaannya, sudah menang jauh sebelum peluit babak pertama ditiup wasit.
Opmerkings
Plaas 'n opmerking